***(Cakrawala Aksara Gusti De Grun)***
Expresikan Imaginasimu!!!!

Rabu, 23 Maret 2011

Mutiara Kesabaran


“Hadirnya tanpa ku sadari, menggores hati cinta bersemi. Kehadiranmu anugerah Illahi… Lembut tutur bicaramu, menarik hatiku untuk mendekatimu, kesopananmu memikat di hati, mendamaikan jiwaku yang tengah resah ini. Lukisanmu iman sehingga aku merasa teduh melihat wajahmu yang berbalut senyuman. Ingin rasanya memiliki hati yang teguh memegang janji setia kepada Tuhan. Tangan lembut yang tak pernah letih membantu sesama. Bibir merah yang senantiasa mengucap dzikir dan melantunkan dakwah. Adakah kiranya peluang untukku melafadzkan cinta, mengikat janji untuk berdakwah bersama di jalan-Nya..Karena engkau…Rembulan di antara bintang-bintang…” jantungku berdebar kencang saat kalimat terakhir ku baca, aku lipat kembali kertas putih yang berhiaskan kata-kata itu. “Ya Allah apa ini??? Perasaanku jadi tak menentu, aku tak mau perasaan ini membuatku berpaling dari-Mu.” Ucapku dalam hati sembari memejamkan mata.
“Tiara, bagaimana apa kamu berminat untuk ta’aruf? Dia lulusan Mesir fakultas Syari’ah, Insya Allah kemampuan agamanya mampu menuntunmu kejalan-Nya. Dia Hafidz, sekarang mengajar di sebuah pesantren di daerah Bogor. Keluarganya pun taat beragama. Apa lagi yang anti tunggu? Gak baik menolak orang shaleh, saran Ummi anti ta’aruf dulu dan bicarakan dengan keluarga. Bagaimana?” aku menatap wajah murabbiku yang begitu yakin memilih Salman untuk menjadi imam dalam hidupku.
“Afwan Ummi, terserah bagaimana baiknya menurut Ummi saja. Buat Tiara yang penting agamanya, dia mampu membawa Tiara kepada jalan yang diridhai oleh Allah. Masalah keluarga Insya Allah Tiara bicarakan lagi dengan Ayah dan Ibu.” Aku tundukkan pandanganku, malu tapi bercampur rasa bahagia. Mudah-mudahan Allah memberikan yang terbaik umtuk diriku dan agamaku.
“Ya sudah secepatnya Ummi akan berikan kabar kepada Salman dan keluarganya, mudah-mudahan setiap langkah kita selalu mendapat Rahmat dan keridhaan-Nya.” Ummi tersenyum bahagia mendengar jawabanku, serta berlalu pergi menuju telpon rumahnya untuk menghubungi seseorang. “Ya Allah, mudah-mudahan dia yang engkau pilihkan untuk menjadi pendamping hidupku…”

Hari bahagia itupun tiba, sebulan lagi aku akan menanggung amanah baru, tanggungjawab baru sebagai seorang istri. Sebagai seseorang yang sempurna imannya, dan menjalankan sunnah Rasul. Ya Allah rasanya tak sabar untuk ku kecup manisnya buah keimanan kepada-Mu.
Satu bulan rupanya bukanlah waktu yang lama, kini tak terasa tiga hari lagi impianku kan terkabulkan. Senyuman kebahagiaan senantiasa menghiasi hari-hariku. Tanpa ku sadari, aku melupakan banyak hal. Termasuk kepulanganku ke rumah. Tiba-tiba telponku berbunyi.
“Assalamu’alaikum Ibu…ada apa?”
“Wa’alaikumsalam… ada apa? Tiara…tiara…besok lusa kamu akan menikah, masa sekarang belum pulang ke rumah? Harusnya seminggu sebelum menikah kamu harus sudah ada di rumah, tidak boleh pergi kemana-mana. Kamu sih masih tetep maksa buat kuliah sama ikut acara kamu di kampus. Libur dulu lah…Ibu khawatir sama kesehatan kamu. Banyak yang datang ke rumah tapi kok calon pengantinnya gak ada?” aku hanya tersenyum mendengar omelan ibuku sendiri.
“Ya ibu, afwan kalau Tiara membuat Ibu khawatir. Tiara baik-baik saja, insya Allah nanti sore Tiara pulang ke rumah. Alhamdulillah besok tidak ada acara, jadi Tiara bisa pulang.”
“Kamu ini, mau nikah kok masih ngomongin acara kampus. Ya sudah, nanti biar Ibu suruh A Kemal jemput kamu di terminal, solanya ayah sama ibu mau pergi dulu ke rumah kakek dan nenek, mau jemput mereka. Hati-hati di jalan ya sayang, kalau bias pulangnya jangan terlalu sore. Dan jangan kemana-mana, tunggu sampai A Kemal datang ya! Assalamu’alaikum..”
“Iya, insya Allah Tiara berangkat sudah Ashar. Wa’alaikumsalam…”

Matahari telah tenggelam di peraduan malam, lembayung yang tadi mengantarkanku ke sebuah mushala yang terletak tak jauh dari terminal kini sudah menghilang. Setengah jam berlalu, “Mungkin A Kemal juga shalat dulu.” Gumamku dalam hati. Tak lama aku ambil handphone yang ada di dalam saku rok putihku. Aku mencoba menghubungi A Kemal, tapi handphone-nya tidak aktif. Lalu ku coba menghubungi telpon rumah, tak ada yang menjawab. Begitupun saat aku menghubungi Ayah dan Ibu. “Duhai Allah, apa gerangan yang terjadi, mengapa hatiku terasa tak nyaman?” Ku lafadzkan dzikir memohon ketenangan kepada Sang Penguasa Hati. Berkali-kali ku coba menghubungi semua anggota keluarga, tapi tak ada satupun di antara mereka yang menjawab telponku.
Waktu menunjukkan pukul 20.15, sudah terlalu malam jika aku tetap menunggu di sini. Ku putuskan untuk pulang ke rumah sendiri, tapi setibanya di depan gerbang desa, tak ada satupun orang di sana, jalanan tampak sepi tidak seperti biasanya. Dzikir senantiasa mengiringi langkah kakiku. Tiba-tiba terdengar suara motor dari kejauhan, “Mungkin tukang ojek, mudah-mudahan tidak ada penumpang, jadi aku bisa sampai ke rumah dengan cepat.” Tapi ternyata aku salah, dua orang pemuda yang sedang mabuk itu menghampiri diriku yang sedang berjalan sendiri dalam kesunyian malam. Jantungku berdebar kencang, Ya Allah…Lindungilah hamba-Mu ini dari kejahatan makhluk-Mu.
Mereka mendekatiku, mencengkram tanganku, berusaha merebut kehormatanku. Aku coba berteriak sekuat tenaga. Tapi jalanan yang jauh dari pemukiman warga membuat tak ada satupun orang yang berlalu di malam itu. Aku tak kuasa menahan keberingasan para lelaki yang tengah ada dalam rayuan syaithan itu. Aku tak mampu mempertahankan kehormatanku, aku roboh dalam tangisan, hingga langit ku rasa makin gelap dan hawar ku dengar gelak tawa yang membuat hatiku hancur lebur.

Perlahan ku buka mataku, sinar lampu dan tangisan yang ku dengar membuatku terbangun. Ku lihat sekelilingku, aku berada di kamarku sendiri. Tapi suara itu, tamgisan dan kemarahan bergerumuh di luar sana. Ada apa ini? Astagfirullah… aku tersadar, kehormatanku telah hilang, kesucianku telah pudar, aku tak mampu lagi berdiri. Aku jatuh dalam jeritan tangis, ketika mereka semua merangkulku dalam tangis yang mengaharu biru.
Aku tak mampu berkata apa-apa, ketika keluarga Mas Salman memutuskan untuk membatalkan pernikahna kita, karena keadaanku. Ibu hanya mampu menangis, bahkan nyaris pingsan, meskipun begitu Ayah tetap berusaha mempertahankan pernikahan ini, tapi semua usahanya gagal. A Kemal yang terus menyelahkan dirinya sendiri, dan aku yang tak mampu berbuat apa-apa. Rasanya aku bukanlah siapa-siapa lagi. Aku jatuh… Aku terpuruk tak berdaya.
Udara di luar sangat cerah, namun tak secerah hatiku yang kini merasakan pahitnya kehidupan. Hilangnya sebuah harapan. Kamarku masih terasa gelap, aku tak peduli dengan perutku yang mulai terasa perih, aku masih saja menangisi kejadian seminggu yang lalu yang membuat hidupku berubah seperti di neraka. Tiba-tiba, ada yang mengetuk pintu kamarku.
“Assalamu’alaikum Tiara, boleh Ummi masuk?” aku membukakan pintu dan Ummi pun menghampiriku.
“Shabar Tiara, Allah tahu yang terbaik untuk umatnya. Allah pasti akan mengganti setiap keshabaranmu dengan yang lebih baik. Bangkitlah kembali dengan nama Allah yang akan menaikkan derajatmu di hadapan-Nya…” aku hanya mampu menangis dalam pelukan Ummi, semua orang yang hadir di sana ikut merasakan kesedihanku dan senantiasa memberiku semangat.
Dua bulan sudah masa kelam itu, ku dengar Mas Salman sudah menikah. Meskipun pahit aku coba untuk tetap shabar dan tawakal. Meskipun aku selalu merasa pandangan orang di sekelilingku berbeda, tapi apalah artinya pandangan manusia, di bandingkan pandangan Allah.
“Wahai Mutiara, dirimu bagaikan mutiara di dasar lautan. Alangkah malangnya nasib manusia yang meninggalkan keindahanmu. Wahai insan yang lapang hati dan fikirannya, yang luas agamanya, kiranya engkau bersedia membuka hatimu untuk diriku yang mencintaimu karena-Nya. Aku tak melihat kesucian dirimu, yang terpenting bagiku adalah kesucian hatimu…” jantungku kembali berdebar, ada perasaan berbeda. Tapi aku bukanlah Mutiara yang dulu lagi.
“Tak usah ragu, dia ikhlas memilihmu. Meskipun dia seorang dokter, tapi dia tak buta akan agama, selain kaya harta, dia juga kaya akan agama. Tapi semuanya kembali padamu, Ummi selalu mendo’akan yang terbaik untukmu.” Senyum dan tangis kebahagian menghiasi sore yang mulai menampakkan rona dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar