Di suatu malam yang hening aku
bertanya pada hati dan logikaku. Apa yang harus aku lakukan dengan keadaan dan
perasaan ini? Haruskah aku lepaskan, ataukah aku pertahankan? Bahkan langkah
ini belum begitu jauh, perasaan ini masih sama seperti dahulu (meskipun telah
lama aku menaruh hati padanya).
Logika pun berbisik, “baru satu langkah
saja telah banyak tembok-tembok tinggi yang menghalangi jalanmu, telah banyak
kerikil tajam yang membuatmu terjatuh dan terluka. Rasanya menurutku tak
mungkin kamu sampai ke puncak jika keadaannya seperti ini”.
Tapi tiba-tiba hati berteriak, “tidak,
kamu pasti bisa melawatinya. Beberapa tahun yang lalu kamu pernah merasakannya,
dan selama itupun kamu mampu bertahan, bahakan tanpa syarat mencintainya,
meskipun dia lebih memilih orang lain dibandingkan dirimu. Aku yakin kamu
mampu.” Baiklah aku memilih mengikutimu hati...
Tapi lagi-lagi aku merenung
kembali...
Perjalanan ini rasanya telah
cukup lama aku tempuh, tapi semakin lama semakin jauh, tembok-tembok itu
semakin menjulang tinggi, batu-batu kerikil itu semakin besar dan semakin
tajam, benci dan caci itu semakin nyata. Lalu hati, benarkah jalan yang aku
tempuh ini? Atau jalanmu logika yang lebih baik aku jalani?
“Aku juga bilang apa, sudahlah..
menyerah saja pada keadaan. Tak akan semudah itu kamu mengubah apa yang telah
tertanam dalam hati orang. Bukankah masih banyak orang diluar sana yang sanggup
membahagiakanmu, tanpa ada banyak begitu rintangan dan sakit yang akan kamu
rasakan? Ikuti saja aku, bukankah selama ini kamu selalu memilihku dalam hal
apapun. Lalu mengapa tidak untuk urusan ini?” logika pun berusaha meyakinkan...
“Bertahanlah, untuk hatimu dan
juga hatinya. Untuk dia yang memandangmu semurna meskipun orang lain
memandangmu jauh dari kesempurnaan. Bertahanlah untuk dia yang selalu berjalan
disampingmu tak peduli kamu tertatih ataupun terjatuh, tak peduli dengan
sikapmu dan sikap orang-oarang disekitarmu. Lalu mengapa kamu harus peduli
dengan semua sikap orang-orang disekelilingnya, tidakkah kamu bercermin
padanya? Mereka seerti itu hanya karena mereka menginginkan yang terbaik
untuknya, dan mereka berfikir bukan kamu orangnya. Hanya sesederhana itu,
bukankah kamu juga ingin yang terbaik untuk dirinya? Berjuanglah, yakin bahwa
semua ini pasti ada akhirnya. Tak akan selamanya luka pasti ada bahagia, tak
akan selamanya hujan karena akan ada pelangi. Dan tak akan selamanya malam yang
kelam karena akan ada matahari yang menantimu diujung pagi. Sebuah harapan
untukmu, ya masih ada harapan untukmu dan untuknya untuk bersama.” Aku tertegun
akan jawabnya.. dan merenung, haruskah aku mengikuti hatiku lagi...
Dan aku berjalan lagi menyusuri
jalan yang berliku ini, menemani dan ditemani dia, menguatkan dan dikuatkan
dia...
Lalu setelah jalan ini lama ku
tempuh, aku masih saja tak menemukan ujungnya. Dan kerikil serta tembok itu
masih tetap saja ada bahkan tak rubuh oleh waktu. Bukan hanya gelap, tapi kabut
tebal menutupi arah dan tujuan. Aku mulai merasa lelah, bahkan semakin lelah
ketika melihat dirinya yang tak lagi menggenggam erat tanganku. Dan membuatku
ingin bertanya pada hatinya, masihkah sama perasaannya itu? Atau dari dulu
memang tak pernah ada untukku? Haruskah aku berhenti disini, jika aku dan dia
tak pernah menemukan ujung dari jalan ini, atau bahkan sejauh mata memandang
tak ku temukan satu titik benderangpun yang menunjukkan ujungnya.
“Lalu apakah kamu bisa
melepaskannya?” tanya hati.
“Tak ada ikatan apapun sulit
bagimu melupakannya, bagaimana sekarang setelah perjalanan panjang ini
bersamanya. Sanggupkah ingatanmu melupakannya? Aku rasa akan sangat sulit.” Logika
pun menambahkan.
Ya, kalian benar. Tak akan mudah
bagiku melepaskan dan melupakan dia yang menemani langkahku selama ini. Yang karenanya
air mataku jatuh, dan karenanya tawaku lepas. Yang karenanya pipiku merona
malu, yang karenanya pula hatiku merasa kesal.
“Tapi, dia punya apa sampai kamu mempertahankannya
meskipun kamu merasakan sakit yang tak dapat dia rasakan? Sampai semua orang begitu
menganggapmu tak layak untuknya. Dia punya apa? Dan apa yang tak kamu punya
sehingga kamu tak pantas bersamanya?” perlahan air matapun jatuh tak
teratahankan... seperti embun yang meleleh karena sinar mentari pagi...
“Mungkin bagimu logika, dia tak
sempurna. Tapi tidak bagiku, dia menempati suatu tempat yang tak ada seorangpun
yang pernah menempatinya. Meskipun dia biasa, tapi dia istimewa. Meskipun aku
tak pernah tau alasannya.”
Akupun tetap melangkah meskipun
lelah dan masih tetap tak dapat melihat ujung dari perjalanan ini...
Tapi hati, kini dia pun telah
lelah, merasa tak yakin akan dirinya. Jika karena batu kerikil, tembok-tembok
tinggi, penerimaan, dan semua perkataan orang kepadaku, dan semua keadaan ini. Selama
dia masih tetap berdiri tegak disampingku, aku mengikuti katamu tuk bertahan. Tapi
jika dia tak lagi percaya pada jalan ini, tak lagi percaya pada dirinya, tak
lagi ingin menggenggam tanganku dan menyerah pada keadaan, haruskah aku tetap
mengikutimu? Atau kali ini aku menyerah pada logikaku? Atau aku tak pilih
kalian, hanya memilih waktu. Meskipun itu artinya aku tetap memilihmu meskipun
dia tak memilihku, meskipun dia tak memperjuangkanku.
Aku, logika, dan hati...
Monday night, 16122013
Ditemani gemercik hujan dan aroma
tanah yang basah...