***(Cakrawala Aksara Gusti De Grun)***
Expresikan Imaginasimu!!!!

Senin, 16 Desember 2013

Aku, logika, dan hati...

Di suatu malam yang hening aku bertanya pada hati dan logikaku. Apa yang harus aku lakukan dengan keadaan dan perasaan ini? Haruskah aku lepaskan, ataukah aku pertahankan? Bahkan langkah ini belum begitu jauh, perasaan ini masih sama seperti dahulu (meskipun telah lama aku menaruh hati padanya).
Logika pun berbisik, “baru satu langkah saja telah banyak tembok-tembok tinggi yang menghalangi jalanmu, telah banyak kerikil tajam yang membuatmu terjatuh dan terluka. Rasanya menurutku tak mungkin kamu sampai ke puncak jika keadaannya seperti ini”.
Tapi tiba-tiba hati berteriak, “tidak, kamu pasti bisa melawatinya. Beberapa tahun yang lalu kamu pernah merasakannya, dan selama itupun kamu mampu bertahan, bahakan tanpa syarat mencintainya, meskipun dia lebih memilih orang lain dibandingkan dirimu. Aku yakin kamu mampu.” Baiklah aku memilih mengikutimu hati...
Tapi lagi-lagi aku merenung kembali...
Perjalanan ini rasanya telah cukup lama aku tempuh, tapi semakin lama semakin jauh, tembok-tembok itu semakin menjulang tinggi, batu-batu kerikil itu semakin besar dan semakin tajam, benci dan caci itu semakin nyata. Lalu hati, benarkah jalan yang aku tempuh ini? Atau jalanmu logika yang lebih baik aku jalani?
“Aku juga bilang apa, sudahlah.. menyerah saja pada keadaan. Tak akan semudah itu kamu mengubah apa yang telah tertanam dalam hati orang. Bukankah masih banyak orang diluar sana yang sanggup membahagiakanmu, tanpa ada banyak begitu rintangan dan sakit yang akan kamu rasakan? Ikuti saja aku, bukankah selama ini kamu selalu memilihku dalam hal apapun. Lalu mengapa tidak untuk urusan ini?” logika pun berusaha meyakinkan...
“Bertahanlah, untuk hatimu dan juga hatinya. Untuk dia yang memandangmu semurna meskipun orang lain memandangmu jauh dari kesempurnaan. Bertahanlah untuk dia yang selalu berjalan disampingmu tak peduli kamu tertatih ataupun terjatuh, tak peduli dengan sikapmu dan sikap orang-oarang disekitarmu. Lalu mengapa kamu harus peduli dengan semua sikap orang-orang disekelilingnya, tidakkah kamu bercermin padanya? Mereka seerti itu hanya karena mereka menginginkan yang terbaik untuknya, dan mereka berfikir bukan kamu orangnya. Hanya sesederhana itu, bukankah kamu juga ingin yang terbaik untuk dirinya? Berjuanglah, yakin bahwa semua ini pasti ada akhirnya. Tak akan selamanya luka pasti ada bahagia, tak akan selamanya hujan karena akan ada pelangi. Dan tak akan selamanya malam yang kelam karena akan ada matahari yang menantimu diujung pagi. Sebuah harapan untukmu, ya masih ada harapan untukmu dan untuknya untuk bersama.” Aku tertegun akan jawabnya.. dan merenung, haruskah aku mengikuti hatiku lagi...
Dan aku berjalan lagi menyusuri jalan yang berliku ini, menemani dan ditemani dia, menguatkan dan dikuatkan dia...
Lalu setelah jalan ini lama ku tempuh, aku masih saja tak menemukan ujungnya. Dan kerikil serta tembok itu masih tetap saja ada bahkan tak rubuh oleh waktu. Bukan hanya gelap, tapi kabut tebal menutupi arah dan tujuan. Aku mulai merasa lelah, bahkan semakin lelah ketika melihat dirinya yang tak lagi menggenggam erat tanganku. Dan membuatku ingin bertanya pada hatinya, masihkah sama perasaannya itu? Atau dari dulu memang tak pernah ada untukku? Haruskah aku berhenti disini, jika aku dan dia tak pernah menemukan ujung dari jalan ini, atau bahkan sejauh mata memandang tak ku temukan satu titik benderangpun yang menunjukkan ujungnya.
“Lalu apakah kamu bisa melepaskannya?” tanya hati.
“Tak ada ikatan apapun sulit bagimu melupakannya, bagaimana sekarang setelah perjalanan panjang ini bersamanya. Sanggupkah ingatanmu melupakannya? Aku rasa akan sangat sulit.” Logika pun menambahkan.
Ya, kalian benar. Tak akan mudah bagiku melepaskan dan melupakan dia yang menemani langkahku selama ini. Yang karenanya air mataku jatuh, dan karenanya tawaku lepas. Yang karenanya pipiku merona malu, yang karenanya pula hatiku merasa kesal.
“Tapi, dia punya apa sampai kamu mempertahankannya meskipun kamu merasakan sakit yang tak dapat dia rasakan? Sampai semua orang begitu menganggapmu tak layak untuknya. Dia punya apa? Dan apa yang tak kamu punya sehingga kamu tak pantas bersamanya?” perlahan air matapun jatuh tak teratahankan... seperti embun yang meleleh karena sinar mentari pagi...
“Mungkin bagimu logika, dia tak sempurna. Tapi tidak bagiku, dia menempati suatu tempat yang tak ada seorangpun yang pernah menempatinya. Meskipun dia biasa, tapi dia istimewa. Meskipun aku tak pernah tau alasannya.”
Akupun tetap melangkah meskipun lelah dan masih tetap tak dapat melihat ujung dari perjalanan ini...
Tapi hati, kini dia pun telah lelah, merasa tak yakin akan dirinya. Jika karena batu kerikil, tembok-tembok tinggi, penerimaan, dan semua perkataan orang kepadaku, dan semua keadaan ini. Selama dia masih tetap berdiri tegak disampingku, aku mengikuti katamu tuk bertahan. Tapi jika dia tak lagi percaya pada jalan ini, tak lagi percaya pada dirinya, tak lagi ingin menggenggam tanganku dan menyerah pada keadaan, haruskah aku tetap mengikutimu? Atau kali ini aku menyerah pada logikaku? Atau aku tak pilih kalian, hanya memilih waktu. Meskipun itu artinya aku tetap memilihmu meskipun dia tak memilihku, meskipun dia tak memperjuangkanku.

Aku, logika, dan hati...
Monday night, 16122013
Ditemani gemercik hujan dan aroma tanah yang basah...