***(Cakrawala Aksara Gusti De Grun)***
Expresikan Imaginasimu!!!!

Minggu, 23 Februari 2014

Mimpi

Aku tak tahu apa namanya perasaan ini, entah ini rindu, cinta, luka, resah, kecewa, putus asa, hampa atau apa itu namanya. Aku merasa sedang berada di titik terendah dalam hidupku. Tentang rencana, rencanaku yang tak berjalan sesuai harapan, dan rencana-Nya yang sedang aku jalani kini.
Aku, yang katanya seorang wanita yang terlihat bahagia dan ceria, menyimpan luka dalam yang mungkin tak bisa terlihat oleh siapapun. Menyembunyikan setiap tetesan air mata dibalik sunyinya malam, menyembunyikan setiap resah dan keputusasaan dalam hati terdalam. Menyembunyikan setiap harapan yang dibalut kekecewaan, seolah-olah memang tak mengharapkan. Berusaha tetap terlihat seperti tak terjadi apa-apa, menyembunyikan setiap luka yang aku dapat. Meski aku tak tahu seperti apa kini hatiku berbentuk.
Aku yang katanya punya banyak bakat, tapi nyatanya tak bisa apa-apa. Menyadari kini bahwa aku bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa, tak berbakat seperti selama ini orang katakan. Aku yang sedari dulu selalu duduk di kelas unggulan, menjadi mahasiswa terbaik dengan index prestasi kumulatif tertinggi, menjadi asisten dosen, dan menjadi ketua organisasi perempuan pertama di kampus, nyatanya kini tak menjadi apa-apa. Mahasiswa terbaik dan IPK tertinggi nyatanya tak menjamin apa-apa, aku belum bisa melanjutkan study ku, belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai yang sperti teman-temanku banggakan. Merasa terpojokkan memang, apalagi ketika menyinggung soal IPK. Aku kini memang bukan apa-apa, meneruskan tanggung jawabku sebagai seorang pendidik yang dari tsanawiyyah telah aku lakukan. Meski sekarang menjadi seorang pendidik di sebuah kampus kecil, namun tetap saja aku buan siapa-siapa. Aku tak bisa berbangga hati seperti mereka, entah mengapa.
Terkadang aku iri kepada mereka yang bisa begitu mudah melanjutkan kuliahnya tanpa harus memikirkan masalah financial. Sedangkan aku harus tetap bershabar untuk menunggu, menunggu beasiswa yang bisa aku raih untuk melanjutkan mimpiku. Ya bagaimana tidak, menyelesaikan study S1 pun masih dibantu dengan beasiswa yang hanya aku dapatkan beberapa semester saja karena penyerataan beasiswa padahal IPKku masih tetap berada dirutan tertinggi, tapi ya sudahlah bukan rizqy kalau kata ibuku. Aku masih punya pekerjaan part time sebagai penyiar radio dan asisten dosen, setidaknya dapat membayar untuk uang praktikum atau ujian saja, atau untuk membeli buku dan keperluan kuliah lainnya.
Ya, dan aku masih menunggu...
Bukan hanya menunggu sebuah sinar untuk meraih mimpiku melanjutkan study, tapi menunggu seseorang pula yang tak kunjung datang dalam hidupku, disampingku. Sedangkan diusiaku sekarang, mereka telah menemukan pasangan bahkan telah memiliki beberapa orang anak. Undangan demi undangan datang, sedangkan aku dirundung ketidakpastian. Ya, lagi dan lagi aku masih saja tetap menunggu. Menunggu taqdir-Nya, menunggu rencana-Nya berjodoh dengan rencanaku...
Dua tahun sudah rencana ini berlalu tanpa ada satupun yang terwujud, 3 rencana besar dalam hidupku... kerja, kuliah, dan menikah... mimpi-mimpi itu senantiasa menggelayuti setiap hati dan fikirku... ah, mungkin saja ikhtiarku kurang keras, mungkin saja penantianku ini belum ikhlas... mungkin saja shabarku dalam setiap ujian yang diberikan belum cukup... mungkin dan mungkin rencana indah itu belum saatnya aku jalani, atau mungkin tak akan pernah... aku pun tak tahu... mungkin aku belum terlelap dalam tidurku, sehingga aku belum bisa menggapai mimpi-mimpiku...
Wahai mimpi, tahukah dirimu... kini aku mulai lelah mengejarmu.. aku mulai lelah mengukir dirimu dalam hatiku.. tahukah dirimu, luka ini semakin dalam.. yang ketika aku mengingatnya maka berlinanglah air mataku... tahukah dirimu, kegelisahan ini mencapai puncaknya.. tapi masih saja aku belum bisa meraihmu..
Wahai mimpi, tak bisakah kau lihat luka hatiku karena menggapaimu... tak bisakah kau jadikan setiap air mataku tangga untuk meraihmu segera... tak bisakah kau jadikan setiap kegelisahanku sebagai angin yang menerbangkanku ke arahmu... tak bisakah kau jadikan setiap doa dan harapanku sebagai kekuatan untukku untuk berlari ke arahmu...
Wahai mimpi...
Kapankah rencanaku ini berjodoh dengan rencana-Nya...

Senin, 16 Desember 2013

Aku, logika, dan hati...

Di suatu malam yang hening aku bertanya pada hati dan logikaku. Apa yang harus aku lakukan dengan keadaan dan perasaan ini? Haruskah aku lepaskan, ataukah aku pertahankan? Bahkan langkah ini belum begitu jauh, perasaan ini masih sama seperti dahulu (meskipun telah lama aku menaruh hati padanya).
Logika pun berbisik, “baru satu langkah saja telah banyak tembok-tembok tinggi yang menghalangi jalanmu, telah banyak kerikil tajam yang membuatmu terjatuh dan terluka. Rasanya menurutku tak mungkin kamu sampai ke puncak jika keadaannya seperti ini”.
Tapi tiba-tiba hati berteriak, “tidak, kamu pasti bisa melawatinya. Beberapa tahun yang lalu kamu pernah merasakannya, dan selama itupun kamu mampu bertahan, bahakan tanpa syarat mencintainya, meskipun dia lebih memilih orang lain dibandingkan dirimu. Aku yakin kamu mampu.” Baiklah aku memilih mengikutimu hati...
Tapi lagi-lagi aku merenung kembali...
Perjalanan ini rasanya telah cukup lama aku tempuh, tapi semakin lama semakin jauh, tembok-tembok itu semakin menjulang tinggi, batu-batu kerikil itu semakin besar dan semakin tajam, benci dan caci itu semakin nyata. Lalu hati, benarkah jalan yang aku tempuh ini? Atau jalanmu logika yang lebih baik aku jalani?
“Aku juga bilang apa, sudahlah.. menyerah saja pada keadaan. Tak akan semudah itu kamu mengubah apa yang telah tertanam dalam hati orang. Bukankah masih banyak orang diluar sana yang sanggup membahagiakanmu, tanpa ada banyak begitu rintangan dan sakit yang akan kamu rasakan? Ikuti saja aku, bukankah selama ini kamu selalu memilihku dalam hal apapun. Lalu mengapa tidak untuk urusan ini?” logika pun berusaha meyakinkan...
“Bertahanlah, untuk hatimu dan juga hatinya. Untuk dia yang memandangmu semurna meskipun orang lain memandangmu jauh dari kesempurnaan. Bertahanlah untuk dia yang selalu berjalan disampingmu tak peduli kamu tertatih ataupun terjatuh, tak peduli dengan sikapmu dan sikap orang-oarang disekitarmu. Lalu mengapa kamu harus peduli dengan semua sikap orang-orang disekelilingnya, tidakkah kamu bercermin padanya? Mereka seerti itu hanya karena mereka menginginkan yang terbaik untuknya, dan mereka berfikir bukan kamu orangnya. Hanya sesederhana itu, bukankah kamu juga ingin yang terbaik untuk dirinya? Berjuanglah, yakin bahwa semua ini pasti ada akhirnya. Tak akan selamanya luka pasti ada bahagia, tak akan selamanya hujan karena akan ada pelangi. Dan tak akan selamanya malam yang kelam karena akan ada matahari yang menantimu diujung pagi. Sebuah harapan untukmu, ya masih ada harapan untukmu dan untuknya untuk bersama.” Aku tertegun akan jawabnya.. dan merenung, haruskah aku mengikuti hatiku lagi...
Dan aku berjalan lagi menyusuri jalan yang berliku ini, menemani dan ditemani dia, menguatkan dan dikuatkan dia...
Lalu setelah jalan ini lama ku tempuh, aku masih saja tak menemukan ujungnya. Dan kerikil serta tembok itu masih tetap saja ada bahkan tak rubuh oleh waktu. Bukan hanya gelap, tapi kabut tebal menutupi arah dan tujuan. Aku mulai merasa lelah, bahkan semakin lelah ketika melihat dirinya yang tak lagi menggenggam erat tanganku. Dan membuatku ingin bertanya pada hatinya, masihkah sama perasaannya itu? Atau dari dulu memang tak pernah ada untukku? Haruskah aku berhenti disini, jika aku dan dia tak pernah menemukan ujung dari jalan ini, atau bahkan sejauh mata memandang tak ku temukan satu titik benderangpun yang menunjukkan ujungnya.
“Lalu apakah kamu bisa melepaskannya?” tanya hati.
“Tak ada ikatan apapun sulit bagimu melupakannya, bagaimana sekarang setelah perjalanan panjang ini bersamanya. Sanggupkah ingatanmu melupakannya? Aku rasa akan sangat sulit.” Logika pun menambahkan.
Ya, kalian benar. Tak akan mudah bagiku melepaskan dan melupakan dia yang menemani langkahku selama ini. Yang karenanya air mataku jatuh, dan karenanya tawaku lepas. Yang karenanya pipiku merona malu, yang karenanya pula hatiku merasa kesal.
“Tapi, dia punya apa sampai kamu mempertahankannya meskipun kamu merasakan sakit yang tak dapat dia rasakan? Sampai semua orang begitu menganggapmu tak layak untuknya. Dia punya apa? Dan apa yang tak kamu punya sehingga kamu tak pantas bersamanya?” perlahan air matapun jatuh tak teratahankan... seperti embun yang meleleh karena sinar mentari pagi...
“Mungkin bagimu logika, dia tak sempurna. Tapi tidak bagiku, dia menempati suatu tempat yang tak ada seorangpun yang pernah menempatinya. Meskipun dia biasa, tapi dia istimewa. Meskipun aku tak pernah tau alasannya.”
Akupun tetap melangkah meskipun lelah dan masih tetap tak dapat melihat ujung dari perjalanan ini...
Tapi hati, kini dia pun telah lelah, merasa tak yakin akan dirinya. Jika karena batu kerikil, tembok-tembok tinggi, penerimaan, dan semua perkataan orang kepadaku, dan semua keadaan ini. Selama dia masih tetap berdiri tegak disampingku, aku mengikuti katamu tuk bertahan. Tapi jika dia tak lagi percaya pada jalan ini, tak lagi percaya pada dirinya, tak lagi ingin menggenggam tanganku dan menyerah pada keadaan, haruskah aku tetap mengikutimu? Atau kali ini aku menyerah pada logikaku? Atau aku tak pilih kalian, hanya memilih waktu. Meskipun itu artinya aku tetap memilihmu meskipun dia tak memilihku, meskipun dia tak memperjuangkanku.

Aku, logika, dan hati...
Monday night, 16122013
Ditemani gemercik hujan dan aroma tanah yang basah...

Jumat, 19 April 2013

Menyerah




Sedihku bertahan untukmu mungkin tak dapat kau rasakan, tangisku saat bertahan untukmu mungkin tak dapat kau dengar, takutku saat kerikil2 kecil menghiasi perjalanan kita mungkin tak dapat  kau lihat. Disaat semua keadaan yg tak berpihak pada kita itu memaksaku tuk berhenti bertahan, aku masih bisa tuk bertahan dalam tangisan. Meskipun semua yang aku rasakan dan aku takutkan mungkin tak kau angga sebagai sesuatu yg berarti untukmu, karena kau tak ada dalam posisiku. Aku mencoba dan terus mencoba memahami, mengalah dengan perasaanku dan mendahulukan rasionalitasmu. Namun ternyata, tak selamanya seperti itu. Aku kalah, karena goresan2 kecil batu2 kerikil itu dan aku kalah pada perasaanku sendiri. Rasa takut itu bercampur dengan sakit, dan akhirnya logika terlempar pada sebuah tempat yg memilukan.
Aku tak pernah meminta tuk mencintaimu sedalam ini, aku juga tak pernah meminta tuk begitu merasa takut dan sakit saat kehilanganmu, aku juga tak pernah meminta hati ini tak tenang saat dirimu bersama atau membicarakan tentang wanita lain. Aku tak pernah meminta dan aku tak ernah ingin. Yang aku ingin adalah aku memiliki cinta yg biasa sama seperti wanita lainnya, cemburu yg sama seperti wanita lainnya. Aku ingin mencintaimu dengan sewajarnya saja. Agar aku tak takut tuk kehilanganmu, dan tetap berdiri tegar meskipun aku harus kehilangan semua perhatianmu dan semua cintamu. Aku juga ingin setegar karang dilautan. Namun, dapatkah kau jelaskan dengan logikamu, aku harus apa dan bagaimana.
Kini bahagiamu terusik oleh kehadiranku, ketenanganmu terusik oleh perasaanku. Dan mungkin kau tak pernah tau. Aku lebih tak tenang darimu. Ketika kau berkata akan meninggalkan orang yg tak mengertimu, sakit. Padahal aku telah menyiapkan diri sekian lama agar tegar jika suatu saat takdir kita memang tak bersama, kau pergi meninggalkanku, atau aku pergi meninggalkanmu dan menyerah tuk bertahan lebih lama lagi. Tidakkah kau pahami itu? Aku pun tak mampu menjabarkan bait2 perasaanku saat ini. Aku semakin merasa tak pantas untukmu, dan kau berhak mendapatkan wanita yg lebih mengertimu dan tak mendahulukan perasaannya tapi mendahulukan logikanya. Aku merasa tak berguna dan tak mampu memahamimu. Kau benar, semakin aku takut kehilanganmu, maka aku akan semakin kehilanganmu... tapi aku bisa apa, sementara aku sudah terlanjur jatuh dan perlahanpun kehilanganmu.
Akhirnya aku kalah pada keyakinanku sendiri, biarlah kamu dan mereka yg tak memnginginkanku bahagia tanpa kehadiranku...

Antara Cinta dan Persahabatan




Keinginan yg besar itu tiba-tiba runtuh, dan harapan itu tiba2 pudar seketika karena sejuta pertanyaan dan kenyataan. Ada sesak dalam dada dan aku menyadari satu hal, bahwa aku memang bukan yang terbaik untuknya. Berkali-kali aku coba memahaminya, menurunkan egoku bahkan mengorbankan perasaanku sendiri agar hubungan ini berjalan tanpa batu terjal yg kami buat sendiri. Namun kenyataan, selain batu yang tajam menghujam dari luar, ternyata kerikil kecil ini membuatku jatuh tersungkur. Ya, mereka mungkin benar. Aku tak pantas untukmu yang begitu istimewa bagi mereka, juga untukku. Baru hal yang kecil saja, aku tak bisa memahaminya, tak bisa membuatmu tentram, tak bisa membahagiakanmu. Apalagi nanti, ketika kita menghadapi hari tua bersama, di depan sana masih banyak ujian menanti. Lalu aku bertanya pada hati, apa aku sanggup menjadi yg terbaik untukmu dan memahamimu? Apa aku sanggup menjadi apa yg kamu mau dan menentramkan hatimu?
Keinginanku mendapatkan cinta yg sempurna itu tiba2 memudar, rasanya tak pantas, aku tak punya apa2, dan aku tak bisa. Sepertinya keinginanku terlalu jauh, padahal hati ini ingin jadi yg terbaik dan memberikan yg terbaik. Namun sepertinya aku memang bukan yg terbaik untumu, yg bisa memahamimu dan membahagiakanmu. Maafkan aku...
Banyak sekali yang harus aku perbaiki, rasanya aku simpan dalam2 saja keinginan dan harapan besar itu. Salahku memang, terlalu mencintai dan mengharapkanmu. Meski aku tak pernah memintanya. Yang dulu aku pinta adalah menapaki jalan kehidupan ini bersama seorang sahabat yang bisa mengerti dan memahamiku, dan juga aku memahaminya. Namun kenyataan persahabatan itu berbeda dengan percintaan. Persahabatan itu tulus, tak ada cemburu atau rasa sakit ketika dirimu tak ada. Namun dirimu selalu ada saat aku membutuhkanmu, dan kamu selalu mengerti aku. Tapi cinta punya bumbu lain, ada cemburu, keinginan dan keegoisan.      
Ya aku lebih mengenalmu dulu sebagai sahabatku, tapi kini tidak lagi. Bahkan untuk berkeluh kesah padamu pun kini aku tak berani. Lalu seketika muncul pertanyaan besar dalam diriku, apakah aku tetap bertahan atau mulai menyerah??? Aku tak tau lagi...
Namun satu hal, aku memang selalu mendahulukan perasaan dari pada rasionalitas. Tapi ketahuilah, aku bertahan sampai detik ini bukan karena rasionalitas. Jika karena hal itu, mungkin aku telah berhenti bertahan sejak dulu. Tai aku bertahan karena sebuah perasaan... lalu kamu???

Kamis, 18 April 2013

Ketika Cinta Itu Sempurna



After graduated, tentunya makin banyak undangan pernikahan yang mampir. Niat kuatku untuk fokus sama kerjaan dan lanjutin kuliah tiba-tiba mulai terkikis. Dan aku tergoda untuk memikirkannya. Menikah...
Keinginan itu semakin hari ternyata semakin menggebu, meski aku juga tak tahu hendak merajutnya bersama siapa. Dia, dia atau dia. Bahakan tak ada pilihan. Seseorang yang aku harapkanpun tak kunjung datang. Ahh..mungkin ini belum saatnya, suatu saat nanti, fikirku.  
Terakhir ketika sahabat terbaikku menikah, hati ini semakin mendorong kuat detaknya menghantarkan angan-angan dan jiwa ini terbang memenuhi mimpi2 yang selama ini aku rangkai. Bukan angan2 yg indah memiliki suami yg tampan, bukan pula yg kaya atau memiliki pekerjaan yg hebat menurut kebanyakan orang. Aku ingin menikah bukan karena tergiur pernikahan yg mewah dan megah, atau mahar yg fantastis.
Aku hanya iri...
Ya iri, iri pada mereka yang menemukan cinta sejatinya. Iri pada mereka yg telah tentram hatinya, iri pada mereka cintanya, rindunya serta segala perbuatannya menjadi halal dan berbuah pahala. Ahh aku iri pada mereka yang telah menyempurnakan agamanya. Aku iri, sungguh iri pada senyum2 mereka yang menyambut pasangan ibadahnya. Aku iri pada penantian mereka yang indah, menyambut suaminya ketika pulang dengan sejuta senyuman. Shalat berjamaah dan baca qur’an bersama dan memiliki anak2 yg lucu serta cerdas melafalkan ayat2nya. Ihhh, irinya aku melihat mereka yg telah sempurna menjadi seorang wanita. Anggun, cerdas, dan teduh dipandang. Mungkin begitu rasanya menikah. Bersama dan berbagi, meskipun aku tau tidak selalu indah. Ada batu sandungan kecil bahkan besar yang menghadang di tengah perjalanan. Namun terlepas dari itu semua, aku iri pada mereka yg telah halal mengikrarkan cintanya. Karena saat itulah Cinta di dalam hati menjadi Sempurna.

*semoga secepatnya cintaku pun dapat sempurna seperti mereka